Ancaman Penindasan Mengintai dari Tanah Nganggur 2 Tahun Disita Negara
Warisan Presiden ke-7 Joko Widodo (Jokowi) membuat negara bebas merebut atau mengambil kembali hak atas penguasaan tanah yang telah diberikan kepada masyarakat.
Ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 20 Tahun 2021 tentang Penertiban Kawasan dan Tanah Telantar.
Beleid itu diteken Jokowi pada 2 Februari 2021 lalu. Jokowi merasa tidak puas dengan aturan lama yang dibuat oleh Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
"Dalam perjalanannya, PP Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Telantar dinilai belum efektif dalam mengakomodasi permasalahan-permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaan penertiban dan pendayagunaan tanah telantar," jelas Jokowi dalam beleid tersebut, dikutip Rabu (16/7).
"Permasalahan-permasalahan tersebut di antaranya berkaitan dengan objek, jangka waktu peringatan, tata cara untuk mengeluarkan tanah-tanah yang sudah dimanfaatkan dari basis data tanah terindikasi telantar, dan sebagainya," sambungnya.
Salah satu yang berubah drastis dalam aturan itu adalah objek penertiban. Pasal 3 huruf a PP Nomor 11 Tahun 2010 alias aturan era SBY mengecualikan tanah hak milik (sertifikat hak milik/SHM) atau hak guna bangunan (sertifikat hak guna bangunan/SHGB) atas nama perseorangan yang secara tidak sengaja tak dipergunakan sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan pemberian haknya sebagai objek penertiban.
Sedangkan Pasal 7 PP Nomor 20 Tahun 2021 memberi kewenangan negara menyikat habis tanah hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha, hak pakai, hak pengelolaan, sampai tanah yang diperoleh berdasarkan dasar penguasaan atas tanah.
Alhasil, tanah telantar incaran negara bukan cuma yang sudah diberikan izin, konsesi, atau perizinan berusaha. Semua jenis sertifikat tanah sekarang bisa diambil negara jika 'nganggur' alias tidak dimanfaatkan.
Menteri ATR/Kepala BPN Nusron Wahid yang menyanjung habis kerja Presiden ke-7 Jokowi membeberkan urgensi pengambilan kembali tanah berkategori telantar itu.
Ia memulai penjelasannya dengan mengajak semua pihak mengapresiasi kinerja Jokowi yang diklaim punya sumbangsih besar dalam proses sertifikasi tanah.
"Kita harus apresiasi kepada Pak Presiden Jokowi, lewat program PTSL (pendaftaran tanah sistematis lengkap) melakukan sertifikasi dari 2017-2024 itu berhasil melakukan sertifikasi tanah sebanyak 52 juta bidang tanah selama 7 tahun," jelasnya dalam Diskusi Publik Pengukuhan dan Rakernas PB IKA-PMII 2025-2030 di Hotel Bidakara Jakarta, Minggu (13/7).
Ia mencontohkan tanah yang boleh direbut negara adalah HGB yang tidak dibangun sekolah dalam 2 tahun atau HGU tak ditanami kelapa sawit, tebu, hingga singkong dalam 2 tahun sejak bersertifikat.
Nusron menjelaskan batas waktu yang diberikan negara adalah 2 tahun plus 587 hari sampai akhirnya objek tersebut sah ditetapkan sebagai tanah telantar.
Politikus Partai Golkar itu lalu mengutip 3 mandat dari Presiden Prabowo terkait urusan pertanahan. Pertama, menggunakan prinsip keadilan. Kedua, prinsip pemerataan. Sedangkan yang ketiga adalah prinsip kesinambungan ekonomi.
"Terhadap perintah keadilan, pemerataan, dan kesinambungan ekonomi kami terjemahkan sebagai berikut: prinsip kesinambungan ekonomi berarti apa? Yang sudah ada jangan dimatikan. Prinsip keadilan dan pemerataan, kalau ada barang baru (tanah) jangan diberikan kepada mereka lagi," tuturnya.
Lantas, Prabowo harus apa?
Ancaman menghapus hak atas tanah memang sudah diumumkan Presiden ke-1 Sukarno dalam UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Namun, Presiden Prabowo tidak boleh serampangan melabeli tanah warga dengan cap 'telantar'.
Direktur Hukum Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Mhd Zakiul Fikri mewanti-wanti Prabowo Dkk agar tak ujug-ujug melabeli 'telantar' ketika melihat tanah kosong, tidak ditemukan siapa pemiliknya, atau tak terlihat aktivitas usaha di atas tanah tersebut.
"Ada proses administratif yang wajib dilalui sebelum penetapan status tanah telantar, mulai dari identifikasi dan inventarisasi, evaluasi, peringatan, hingga penetapan. Kalau prosedur ini tidak dilakukan dengan baik dan berurut, maka proses penetapan tanah telantar cacat administratif, tidak sah secara hukum," jelasnya kepada CNNIndonesia.com.
Pria yang juga merupakan dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) itu kemudian membuka diskursus soal maksud 'tidak mengusahakan, mempergunakan, memanfaatkan, dan/atau memelihara tanah'.
Jika mengacu Pasal 15 UU Pokok Agraria, kewajiban memelihara tanah termasuk menambah kesuburan serta mencegah kerusakan. Itu menjadi kewajiban tiap-tiap orang, badan hukum, atau instansi yang mempunyai hubungan hukum atas tanah tersebut dengan tetap memperhatikan pihak yang ekonomis lemah.
Sedangkan penjelasan Pasal 27 UUPA menyebut bahwa penghapusan hak atas tanah karena ditelantarkan adalah ketika dengan sengaja tidak mempergunakan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan daripada haknya. Sementara itu, Fikri menilai pemaknaan telantar tetap harus mengacu pada iktikad baik si pemegang sertifikat.
"Kalau orang tidak membangun atau tidak menanam apapun di atas tanahnya, tapi ia rutin mengunjungi tanah itu dalam kurun waktu tertentu, sekali dalam 5 tahun, atau misalnya masih membayar pajak bumi dan bangunan bagi yang telah ada nomor objek pajak (NOP)-nya, maka tidak dapat disebut telah melakukan penelantaran. Hal demikian merupakan bentuk pemeliharaan atas objek tanah," jelas Fikri.
"Kalaupun nanti misalnya hasil evaluasi menunjukkan adanya penelantaran, perlu dipastikan lagi secara ilmiah hubungan kausalitas antara penelantaran itu dengan iktikad tidak baik dari pemegang atau ahli waris hak atas tanah tersebut. Kalau ternyata, misalnya, penelantaran itu terjadi tanpa disengaja, maka tidak dapat ditetapkan sebagai tanah telantar," tegasnya.
Menurutnya, mengusahakan tanah tidak mesti dimaknai pemerintah dengan menanam singkong atau membangun gedung. Fikri menilai memelihara dengan menjenguk dalam kurun waktu tertentu juga sudah menjadi tanda bahwa sang pemilik sertifikat tidak menelantarkan tanahnya.
Ia menyebut setiap pemilik tanah juga punya rasionalisasi ekonomi dalam mengusahakan lahan tersebut, termasuk pertimbangan biaya pemeliharaan. Selain itu, tanah merupakan sumber daya keluarga untuk bertumbuh sehingga pengelolaanya bisa dilakukan kemudian hari oleh anak atau saudara pemilik.
"Kalau kebijakan penetapan tanah telantar dilakukan secara serampangan oleh pemerintah, tiba-tiba misalnya tanah warga ditetapkan sebagai objek tanah telantar, maka akan menambah sengketa atau bahkan konflik di sektor pertanahan ... Praktik penetapan tanah telantar secara terburu-buru dan represif akan membuka keran baru praktik perampasan tanah atau land grabbing oleh negara," wanti-wanti Fikri.
Dirinya juga skeptis dengan niat tulus pemerintah melakukan pemerataan ekonomi untuk rakyat miskin. Fikri membongkar bagaimana pemerintahan Jokowi dulu justru sibuk melakukan pencadangan sumber daya lahan demi keperluan investasi.
Ia juga menegaskan tak sepaham dengan kehadiran Badan Bank Tanah yang dianggap salah secara paradigmatik, bahkan tak sejalan dengan amanat UUPA 1960. Sayang, badan itu menjadi alat politik yang akan mengelola tanah-tanah telantar tersebut nantinya.
"Dari Bank Tanah ini kemudian tanah-tanah itu diolah untuk keperluan proyek strategis nasional (PSN), disewakan kepada swasta, dan untuk program reforma agraria. Jangan bayangkan reforma agraria merupakan tujuan utama dari pengelolaannya, tidak! Tahun 2023, misalnya, dari 17 ribu hektare lahan yang masuk dalam daftar aset Bank Tanah kala itu, kurang dari 3 ribu hektare yang menjadi objek reforma agraria. Sisanya jadi kawasan industri, PSN, dan masih proses pengiklanan mencari investor di website Bank Tanah," bongkarnya soal dosa rezim Jokowi.
Apa praktik 'merampas' kembali tanah warga lazim di negara lain? Perlukah ganti rugi kepada pemilik sertifikat?
Fikri mengatakan sampai saat ini tidak ada ketentuan resmi terkait ganti rugi tanah yang ditetapkan sebagai objek telantar oleh pemerintah.
Namun, ia mencontohkan bagaimana Malaysia menyikapi dengan bijak tanah telantar atau yang dikenal dengan 'tanah terbiar'. Negeri Jiran disebut tak bernafsu merebut tanah milik warga, melainkan memilih memberi insentif 'Gerakan Pertanian Pembangunan Tanah Terbiar'.
"Melalui program ini, setiap orang yang mengusahakan tanah yang diduga telantar, terutama bagi pemegang hak yang diduga menelantarkan diberikan insentif sebesar 20 ribu ringgit agar tanah tersebut diusahakan. Jadi, kebijakan yang sangat kontras dengan Indonesia. Mungkin bisa diambil pembelajaran juga bagi pemerintah kita," sarannya kepada Prabowo.
Sementara itu, Peneliti Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Azhar Syahida menilai semangat pemerintah untuk meningkatkan produktivitas tanah merupakan hal baik. Ia menekankan semangat itu semestinya dibarengi proses yang benar dan dasar hukum kuat.
Azhar berpesan kepada Prabowo dan para pembantunya agar tak menyalahi semangat reforma agraria. Alih-alih menurunkan ketimpangan, justru berpotensi menimbulkan kerugian besar bagi masyarakat kalau tak dilandasi kepentingan publik dan memperhatikan aspek lingkungan.
"Di Australia, misalnya, kebijakan pertanahan diatur dengan begitu ketat. Peruntukan petak tanah dilakukan dengan sistem planning yang matang dan tidak mudah diubah sehingga konversi tanah itu dilakukan dengan ketat untuk melindungi lingkungan, kegiatan ekonomi agrikultur, dan lain-lain. Misalnya, tanah pertanian tidak dengan mudah bisa dikonversi ke penggunaan yang lain, umpamanya untuk perumahan atau gedung," jelas Azhar.
"Di negara-negara lain ada beberapa yang melakukan pengalihan fungsi lahan telantar, tapi sangat ketat prosesnya. Dilandasi hukum yang kuat dan kompensasi yang adil," tegasnya.
Proses konversi tanah yang dianggap telantar itu perlu dilakukan Pemerintah Indonesia dengan hati-hati dan ketat. Namun, Azhar menegaskan upaya mengambil tanah bersertifikat resmi dan berwujud merupakan tindakan kurang tepat.
Kalaupun negara keukeuh mencabut hak atas tanah tersebut, Azhar menuntut ganti rugi yang adil dan tepat waktu bagi pemilik sertifikat. Pemerintah ia dorong untuk segera membuat landasan hukum terkait masalah ganti rugi tersebut.
Pengacara Properti Muhammad Rizal Siregar mengatakan ada potensi konflik sengketa pertanahan yang berkepanjangan jika pemerintah ngotot. Apalagi, perebutan kembali atas tanah yang jelas-jelas berstatus hak milik alias SHM.
"Konflik ini juga melibatkan berbagai aktor dan kepentingan-kepentingan, baik itu individu, masyarakat, perusahaan, maupun instansi pemerintah sebagaimana dalam struktur mafia tanah," ungkapnya.
"Urgensi dari hapusnya hak atas tanah yang ditelantarkan berdasarkan PP Nomor 20 Tahun 2021 belum memiliki kepastian hukum bagi pemegang hak karena tidak ditetapkan secara tegas ganti kerugian bagi pemegang hak," sambung Rizal.
Ia membeberkan setidaknya 3 kerugian yang bakal dirasakan pemilik sertifikat tanah yang dicap telantar oleh negara. Pertama, hilangnya potensi pendapatan dan keuntungan yang seharusnya bisa diperoleh.
Kedua, penurunan nilai aset. Ketiga, kerugian biaya-biaya karena pemilik tanah sudah berupaya mengeluarkan uang untuk menjaga lahan tersebut agar tidak menjadi tempat kegiatan negatif.
"Pemerintah perlu mengambil langkah-langkah yang tepat untuk mencegah dan mengatasi masalah tanah telantar, seperti memberikan insentif bagi perusahaan untuk memanfaatkan tanahnya, memberikan sanksi yang tegas bagi perusahaan yang menelantarkan tanah, serta memberikan kemudahan bagi masyarakat untuk mengakses dan memanfaatkan tanah telantar yang sudah dikuasai negara," tandasnya.
sumber: CNNINDONESIA