Dari Meja Makan ke Meja Istana

 

Resep Menjadi Menteri ala Tim Hore Prabowo

Ketika rakyat sibuk antre sembako, para elite malah sibuk antre jabatan. Dari  meja makan hingga  meja Istana, aroma politik transaksional tercium lebih kuat dari wangi nasi goreng buatan chef Istana. Presiden terpilih belum resmi dilantik, tapi  kursi menteri sudah terasa panas, seolah lebih penting dari kursi DPR yang makin hari makin dingin karena minim oposisi.

Di dapur kekuasaan, tak lagi berlaku resep meritokrasi. Yang lebih banyak dimasak adalah loyalitas, relasi, dan rekam jejak nyanyi-nyanyi di kampanye. Pengalaman kerja? Ah, itu hanya garam. Sedikit saja, biar nggak keasinan. Yang penting pernah selfie bareng capres atau ketahuan manggung di deklarasi.

"Tim Hore" bukan istilah sinis, melainkan istilah jujur. Mereka bersorak di belakang panggung kampanye, lalu berharap sorakannya dibayar dengan jabatan. Menteri bukan lagi orang yang tahu seluk-beluk bidangnya, tapi yang tahu kapan harus tertawa saat presiden melontarkan candaan garing. Di era sekarang, kompetensi nomor dua—asal tidak mengkritik bos di depan umum dan hafal lagu “Oke Gas”.

Kita tentu ingat, jabatan publik dulu diperjuangkan oleh para pemikir, pejuang, atau teknokrat. Kini, asal punya banyak followers atau sering tampil di TV, itu sudah cukup. Ada yang hanya modal mantan pesohor YouTube, lalu dikasih jabatan komisaris. Ada pula yang dulunya gagal dalam pemilu legislatif, eh tiba-tiba nongol di SK pengangkatan. Demokrasi kita makin fleksibel, bahkan bagi mereka yang tak pernah menang di TPS tapi menang di meja makan.

Sementara itu, rakyat menonton dengan harapan dan heran. Harapan karena mereka masih percaya akan perubahan, heran karena yang berubah malah makin absurd. Menteri pendidikan sebaiknya pernah mengajar. Menteri kesehatan sebaiknya bukan bekas pemain sinetron atau pemilik klinik gigi. Tapi kita hidup di negeri yang menteri pertanian bisa jadi mantan model majalah, asalkan partainya masuk koalisi.

Kocaknya, semua ini dibungkus dengan narasi "pemerataan kekuasaan." Istilah yang terdengar demokratis, padahal kenyataannya hanya pemerataan jatah bagi para pendukung. Kabinet bukan lagi sekadar tim kerja, tapi semacam hadiah hiburan untuk peserta kampanye yang loyal sampai akhir. Siapa yang teriak paling keras, paling cepat dibisiki staf khusus. Siapa yang rela pasang baliho raksasa sebelum waktunya, paling mungkin dapat kementerian tanpa portofolio.

Rakyat tak butuh kabinet lucu-lucuan. Yang dibutuhkan adalah menteri yang paham akar persoalan. Tapi kalau semua menteri hanya berlomba jadi 'yes man', siapa yang akan berkata 'no' pada kebijakan ngawur? Kalau semua komisaris sibuk rapat di hotel mewah, siapa yang jaga BUMN dari kebangkrutan?

Kita butuh presiden yang bisa berkata: “Maaf, kamu belum cukup mampu untuk posisi ini.” Tapi itu butuh nyali, bukan basa-basi politik. Presiden ke depan harus bisa memilah mana teman makan siang dan mana negarawan. Sayangnya, saat ini yang menang bukan gagasan, tapi geng. Bukan gagahnya strategi, tapi gigihnya cari posisi.

Jadi kalau kamu ingin jadi menteri di pemerintahan mendatang, tak perlu sekolah tinggi-tinggi. Cukup punya koneksi, loyalitas, dan sedikit kemampuan pura-pura serius di rapat. Jangan lupa unggah fotomu sedang berdiri di belakang Prabowo saat pidato. Siapa tahu, dari meja makan, nasibmu benar-benar sampai ke meja Istana.

Karena di republik ini, kadang yang paling keras teriak “siap, jenderal!”—justru yang pertama kali dikasih jabatan.

sumber: netral.news


Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel