Ketika Negara Jadi Warisan Republik Keluarga

Ketika Hukum Disesuaikan dengan Silsilah


Di sebuah negeri khayalan yang katanya demokratis, tampaknya kini tak ubahnya seperti perusahaan keluarga. Republik ini dulunya berdiri atas semangat reformasi, namun kini menjelma menjadi reformasi yang diwariskan. Jika dulu yang dikhawatirkan adalah kembalinya kekuatan otoriter, sekarang lebih ngeri lagi: kekuasaan diwariskan seperti sertifikat rumah. Tak heran, rakyat mulai menyebutnya bukan lagi sebagai negara hukum, melainkan negara "Hukum Keluarga".

Lihatlah bagaimana sang pemimpin tertinggi negeri ini, yang dulu dielu-elukan sebagai sosok sederhana, kini menjadi arsitek dari dinasti kekuasaan paling nekat dalam sejarah politik modern Nusantara. Putranya yang belum punya pengalaman panjang di pemerintahan, tiba-tiba meloncat jadi calon wakil pemimpin nasional. Ajaibnya lagi, bukan karena prestasi mentereng, tapi karena ada restu dari sang ayah yang kebetulan sedang menjabat sebagai kepala negara. Katanya sih lewat mekanisme partai, tapi semua orang tahu: yang bicara bukan sistem, tapi silsilah.

Tidak cukup di situ, menantunya yang juga baru beberapa tahun main di panggung politik, tiba-tiba dapat karpet merah menuju kursi gubernur di kota terbesar kedua di negeri itu. Lucunya, bukan hanya karena dia punya kapasitas, tapi karena dia punya akses. Akses itu bernama “ikatan darah dan politik”. Seakan-akan negeri ini sudah tidak butuh lagi pemimpin yang diuji publik lewat prestasi, cukup diuji lewat test DNA.

Yang lebih epik lagi, ketika pamannya sendiri tiba-tiba muncul sebagai kepala lembaga pengawal konstitusi. Entah kebetulan atau tidak, paman ini kemudian terlibat dalam keputusan kontroversial yang membuka jalan bagi keponakannya untuk bisa ikut pilpres meskipun belum cukup umur secara regulasi lama. Katanya demi kepastian hukum, padahal publik menyebutnya kepastian keluarga. Ini bukan hukum progresif, ini hukum selektif.

Situasi ini menimbulkan pertanyaan mendasar: untuk siapa negara ini bekerja? Apakah hukum dibuat untuk semua, atau hanya untuk mereka yang punya marga politik tertentu? Ketika pengangkatan jabatan strategis mulai mirip dengan acara arisan keluarga, maka rakyat hanya bisa pasrah sambil tertawa getir. Demokrasi pun perlahan-lahan berubah menjadi “demokrasay”: sayangnya, rakyat cuma penonton.

Dalam kondisi seperti ini, bicara meritokrasi jadi terasa seperti dongeng. Karena di negeri ini, siapa yang dekat dengan penguasa, maka dekat pula dengan kekuasaan. Persaingan politik tak lagi ditentukan oleh kualitas dan program, tapi oleh siapa ayahmu, menantumu, atau pamanmu. Negara tak ubahnya panggung sandiwara di mana aktor utamanya selalu berasal dari satu kelompok keluarga besar.

Yang menyedihkan, setiap kritik terhadap pola ini selalu dijawab dengan defensif: katanya ini legal, katanya dipilih rakyat, katanya proses demokratis. Tapi apakah demokrasi hanya soal angka? Bukankah substansi demokrasi juga soal etika dan keadilan? Ketika pemilu dijadikan alat untuk meresmikan dominasi keluarga, maka itu bukan lagi demokrasi, tapi dinasti berkostum demokratis.

Sementara itu, rakyat disuguhi drama pembangunan, pencitraan, dan janji-janji. Tapi di balik semua itu, korupsi tetap menjadi tradisi, kolusi menjadi strategi, dan nepotisme menjadi metode rekrutmen pejabat. Transparansi hanya untuk pajak rakyat kecil, sementara proyek-proyek besar diselimuti kerahasiaan seperti ritual keluarga. Integritas diganti loyalitas, profesionalisme dikalahkan oleh hubungan darah.

Jika ada yang bertanya, siapa yang sedang berkuasa di negeri ini, maka jawabannya sederhana: bukan ideologi, bukan partai, apalagi rakyat. Yang sedang berkuasa adalah silsilah. Republik ini sedang mengalami "kerajaan dalam republik", di mana pemilu hanya upacara pengesahan tahta, dan hukum hanya sekadar pelengkap narasi bahwa semua ini sah secara prosedural.

Jadi, wahai rakyat yang katanya pemilik kedaulatan, mari kita buka mata. Demokrasi bukan hanya tentang bisa memilih, tapi juga tentang pilihan yang adil. Bukan hanya tentang legalitas, tapi tentang etika dan kesetaraan. Bila negara sudah dijadikan warisan keluarga, maka sesungguhnya kita tak lagi hidup dalam negara hukum, melainkan negara “hukuman” bagi mereka yang bukan bagian dari keluarga penguasa.

Mungkin kita harus menulis ulang UUD: "Kekuasaan tertinggi dipegang oleh keluarga penguasa dan keturunannya, selama masih ada ruang di kursi pemerintahan." Dan bila ada rakyat yang mengeluh, cukup katakan: sabar, nanti juga kebagian—jadi penonton seumur hidup. 

netralnews.com


Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel