Kuota Internet Hangus Dinilai Langgar Hak Konsumen, IAW Sebut Sebagai Kejahatan Ekonomi
Bagi banyak pengguna internet di Indonesia, habisnya masa aktif paket data seringkali berarti hilangnya kuota yang sudah dibayar.
Praktik ini sudah begitu lazim, hingga sebagian masyarakat mungkin menganggapnya sebagai risiko biasa dalam berlangganan internet.
Indonesian Audit Watch (IAW) menilai praktik penghangusan kuota ini sebagai bentuk kejahatan ekonomi yang dibiarkan terjadi selama bertahun-tahun.
Menurut Sekretaris Pendiri IAW, Iskandar Sitorus, masalah ini bukan sekadar soal kebijakan teknis operator, tetapi menyangkut hak konsumen yang diabaikan.
"Apa yang dibeli konsumen itu bukan waktu, tapi volume data. Kalau ditanya ke siapa pun, saat beli paket internet, mereka membeli kapasitas data, bukan menyewa jam atau hari," ungkap Iskandar, Sabtu (14/6/2025).
Ia mengibaratkan pembelian kuota layaknya membeli air galon. Konsumen membayar berdasarkan jumlah liter air, bukan seberapa lama air itu disimpan.
Oleh karena itu, menurutnya, penghapusan kuota hanya karena masa aktif berakhir sama saja dengan merampas hak konsumen atas barang yang telah dibeli.
Lebih jauh, Iskandar menilai penghapusan kuota secara sepihak merupakan bentuk penghilangan manfaat atas produk yang seharusnya dimiliki penuh oleh konsumen.
Ia mengacu pada berbagai landasan hukum, mulai dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) hingga Undang-Undang Perlindungan Konsumen.
"Kontrak itu harus dilaksanakan dengan itikad baik. Tapi apakah adil jika operator menerima uang penuh tapi memusnahkan kuota hanya karena lewat tanggal?" ujarnya.
Sejumlah alasan yang kerap dikemukakan oleh operator maupun asosiasi penyelenggara telekomunikasi seperti keterbatasan frekuensi, menurut pihaknya, tidak masuk akal.
Iskandar mencontohkan, layanan lain seperti token listrik atau e-toll yang sama-sama berbasis sistem elektronik, tetap berlaku hingga digunakan, tanpa masa kadaluarsa yang memberatkan konsumen.
Beberapa negara seperti Australia dan Malaysia bahkan telah menerapkan sistem rollover, di mana sisa kuota bisa digunakan pada periode berikutnya. Sebaliknya di Indonesia, sisa kuota justru hangus begitu masa aktif berakhir.
"Seolah-olah kuota itu bukan hak milik konsumen. Padahal mereka sudah bayar lunas," tambahnya.
Kerugian publik yang ditimbulkan dari praktik ini pun disebut IAW sangat besar.
Dalam catatan mereka, sejak 2010 hingga 2024, potensi kerugian akibat kuota hangus tanpa kompensasi ditaksir mencapai Rp613 triliun.
Dana sebesar itu, kata Iskandar, menguap tanpa dicatat sebagai kewajiban (liabilitas) dalam laporan keuangan operator, sehingga bisa membuka peluang praktik pengakuan pendapatan fiktif.
"Kalau ini tidak dianggap masalah, kita sedang menyaksikan penghilangan nilai ekonomi rakyat secara sistemik. Bahkan, ini berpotensi melanggar hukum pidana korupsi," tegasnya.
Pihaknya pun mendorong agar ada langkah hukum kolektif seperti class action, sekaligus mengajukan uji materi terhadap regulasi yang dianggap memberi celah pada praktik penghangusan kuota.
Selain itu, mereka juga meminta agar Undang-Undang Telekomunikasi dan Perlindungan Konsumen direvisi untuk memperjelas status kuota sebagai hak milik digital konsumen.
Bahkan, Iskandar menyerukan agar Presiden menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) terkait perlindungan konsumen digital.
Ia menganggap persoalan ini bukan sekadar isu layanan telekomunikasi, tetapi sudah masuk ke ranah kejahatan ekonomi berskala nasional.
"Kuota yang dibeli bukanlah sampah. Tapi dengan sistem sekarang, kuota menjadi sampah digital termahal di dunia. Kalau aparat penegak hukum terus diam, maka negara gagal melindungi hak digital rakyatnya sendiri," ucapnya. (*)
sumber: tribun