Beras Oplosan Marak Beredar di Pasar, HET dan Lemahnya Pengawasan Jadi Biang Kerok?
Investigasi Kementerian Pertanian (Kementan) bersama Satgas Pangan Polri menemukan 212 merek beras tidak memenuhi standar mutu. Pelanggaran mencakup berat kemasan, komposisi, dan label. Beberapa merek menjual kemasan 5 kilogram, padahal isinya hanya 4,5 kilogram. Banyak juga yang mengklaim sebagai beras premium, padahal mutunya biasa saja. Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman menyebut beras oplosan beredar luas, tidak hanya di pasar tradisional, tapi juga di minimarket dan supermarket. “Iya, beredar. Supermarket beredar, itu kami ambil sampel dari sana semua,” ujar Amran di Kompleks Parlemen, dikutip Selasa (15/7/2025).
Setelah temuan ini terungkap, beberapa minimarket mulai menarik produk oplosan dari rak. Meski begitu, data dan bukti pelanggaran tetap ditindaklanjuti penegak hukum.
Amran mencatat, praktik oplosan bisa merugikan konsumen hingga Rp 99 triliun per tahun. "Ini kan merugikan masyarakat Indonesia, itu kurang lebih Rp 99 triliun, hampir Rp 100 triliun kira-kira, karena ini terjadi setiap tahun. Katakanlah 10 tahun atau 5 tahun, kalau 10 tahun kan Rp 1.000 triliun, kalau 5 tahun kan Rp 500 triliun, ini kerugian," paparnya.
Biang Kerok: HET Terlalu Rendah
Ahli Teknologi Industri Pertanian IPB University, Tajuddin Bantacut, menilai HET beras medium yang terlalu rendah jadi penyebab utama oplosan. HET nasional untuk beras medium ditetapkan Rp 12.500 per kilogram, sedangkan beras premium Rp 14.900 per kilogram. Menurutnya, harga bahan baku sudah sekitar Rp 11.300 hingga Rp 11.400. Jika ditambah ongkos pengolahan Rp 500, distribusi dan pemasaran Rp 300, serta margin 10 persen sekitar Rp 650, maka harga jual seharusnya Rp 13.000 per kilogram. “Harga bahan bakunya itu kira-kira sudah Rp 11.300-Rp11.400. Kalau ditambah ongkos, pengolahannya Rp 500, ongkos distribusi, pemasarannya Rp 300, keuntungannya 10 persen dari harga bahan baku sebesar Rp 650, maka harga tertingginya harusnya sudah Rp 13.000,” ujarnya kepada Kompas.com. Ia menyarankan HET dinaikkan. Menurut hitungan Tajuddin, harga ideal medium bisa di kisaran Rp 15.000 sampai Rp 16.000 per kilogram. “Saya pikir, itu yang harus diperbaiki supaya orang kalau berbisnis itu kan tujuannya mencari keuntungan. Kalau dia dengan bisnis normal sudah dapat untung, tidak akan melakukan pemalsuan (oplosan) seperti sekarang,” lanjutnya.
Ia juga meminta pemerintah meninjau ulang penetapan harga Gabah Kering Panen (GKP). Berdasarkan panel harga Badan Pangan Nasional (Bapanas) pukul 07.23 WIB, GKP di tingkat petani Rp 6.640 per kilogram, dan di penggilingan Rp 8.071 per kilogram. “Pemerintah mengatakan, harga GKP berapa pun kualitasnya, harus dihargai Rp 6.500, padahal kadar air beras berbeda-beda. Rata-rata 24-25 persen, tetapi ada yang mencapai 30 persen,” katanya. “Karena itu, pemerintah harus mengkaji ulang bagaimana menentukan harga GKP dengan cara yang baik sehingga para pihak, baik produsen maupun konsumen, serta pelaku di antaranya merasa nyaman,” ucapnya.
Lemahnya Pengawasan Jadi Masalah
Koordinator Koalisi Rakyat Untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), Said Abdullah, menilai pengawasan dan penegakan hukum terhadap mafia pangan masih lemah. Menurutnya, Undang-undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan sebenarnya cukup kuat. Beleid ini mengatur seluruh aspek pangan, termasuk sanksi terhadap pelaku oplosan, penimbunan, dan kecurangan lainnya. “Nah satu soal pengawasan dan menegakkan hukum, kita memang kan masih lemah terkait hal itu ya, sekalipun kita sebenarnya sudah punya instrumennya, ada undang-undang, di Undang-undang Pangan juga jelas ada klausul soal larangan itu kan dan sanksinya,” ujarnya. Satgas Pangan Polri terlibat dalam penindakan. Namun Said menilai, mekanisme pengawasan harus lebih terukur dan berbasis data. Ia menilai pengawasan dapat diperkuat dengan melacak distribusi dari wilayah asal hingga lokasi penjualan. Basis data ini dapat menunjukkan berapa volume keluar, ke mana distribusinya, dan berapa sisa stok. ”Nah ini saya kira yang perlu diperkuat ke depan soal pengawasan dan penegakan hukum. Misalnya soal mekanisme pengawasan yang selama ini saya kira perlu penguatan ya, tidak hanya di konteks pelibatan publik, tetapi juga perlu ada satu mekanisme dan proses monitoring yang lebih terukur,” ujarnya. “Kita punya satu mekanisme dan basis data rantai pasok pangan yang lebih terukur. Jadi kita bisa tahu misalnya satu wilayah bergerak berapa banyak barang itu keluar, keluar daerah, di mana daerahnya, kemudian tersebarnya berapa, sisa stoknya berapa, dan seterusnya,” tutup Said.
sumber: kompas